Seandainya Para Sarjana Kita Mau Pulang Kampung ???

www.sentralternak.com, Artikel ini kami tulis dan muncul sebagai ide ketika kami dalam perjalanan ke Wangon-Purwokerto pada tanggal 10-11 Oktober 2008 untuk memenuhi undangan Bapak Riarjo. Undangan tersebut adalah undangan demonstrasi produk berupa mesin tetas dan tukar pendapat dengan salah seorang penetas telur bebek di sana. Alhamdulillah, Bapak Riarjo selaku investor di sektor ini langsung tertarik dan membeli mesin tetas kami untuk contoh dan bahan uji coba. Dari pertemuan kami tersebut juga ada beberapa masukan yang kami berikan untuk penetas di sana yang masih menggunakan mesin tetas tradisional dengan pemanas lampu semprong (templek, tempel, ed).

Ringkas cerita dalam perjalanan tersebut kami memperhatikan pemandangan kanan dan kiri dari dalam kendaraan yang kami tumpangi. Kami memperhatikan mulai dari arah keluar Yogyakarta-Wates-Purworejo-Kebumen-Gombong dan Buntu. Kami melihat pemandangan yang kurang sedap di pandang yaitu hamparan sawah dan kebun yang kurang terawat alias terbengkalai. Kami membayangkan kalau sekiranya lahan-lahan tersebut digarap dan dikelola dengan baik tentu akan lebih produktif dan akan menghasilkan sesuatu. Dan, apalagi kalau yang mengerjakan lahan tersebut adalah tenaga-tenaga ahli seperti para sarjana kita, saya yakin akan lebih meningkat lagi priduktivitasnya. Dan satu lagi yang cukup penting yaitu jumlah pengangguran di desa akan sedikit berkurang karena ada pekerjaan baru yang tersedia.

Maksudnya adalah walau para sarjana kita tidak pulang secara langsung untuk menggarap lahan tersebut akan tetapi perlu kiranya untuk berbagi informasi, ilmu dan pengalaman yang telah didapatkan dari bangku perkuliahan. Coba bayangkan kalau satu saja informasi atau iptek (misalnya penggunaan mesin tetas untuk menetaskan telur unggas) yang disampaikan mampu diadopsi dan diterapkan oleh masyarakat perdesaan tentu akan sangat membantu kehidupan ekonomi masyarakat. Sehingga tak sia-sialah ilmu yang kita dapatkan selama bertahun-tahun dan dana besar yang telah dikeluarkan oleh orang tua kita untuk menempuh kuliah.

Peran dari para sarjana kita saja tidak cukup untuk membangun desa, akan tetapi perlu juga peran dari pemerintah sebagai pihak pengontrol dari system dan kalau bisa sebagai penyokong modal yang selama ini dirasakan sebagai faktor penghambat utama dalam pengembangan iptek di perdesaan. Usaha tanpa modal ibarat masakan tanpa garam dan begitu juga usaha tanpa tenaga ahli. Memang masakan tersebut dapat di makan tapi kurang sedap dan kurang pas lah di lidah, kalau tersedia garam di dapur mengapa tidak ditambahkan? Modal tidak harus berupa materi (uang) akan tetapi modal mental dan menanamkan jiwa professionalime lah yang lebih penting.

Untuk masyarakat perdesaan juga perlu menjaga sikap amanah dan jujur kalau pemerintah bersedia menggulirkan modal untuk usaha. Tidak seperti yang sudah-sudah sebagaimana banyak laporan bahwa bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah dianggap oleh sebagian masyarakat adalah modal pemberian gratis. Sehingga dengan enak saja menjual ternak (kalau berupa ternak) atau menghabiskan modal tersebut tanpa rasa bersalah. Padahal modal tersebut adalah modal bergulir yang tidak hanya untuk masyarakat tertentu saja tapi secara bertahap masyarakat lain juga perlu untuk menikmatinya pula. Terus kalau modal itu habis tanpa ada pertanggungjawabannya bagaimana? Pemerintah akan dibuat sulit untuk membuat laporan pertanggungjawaban sehingga enggan menggulirkan dana lagi untuk usaha.

Kembali ke masalah pokok bahwa kebanyakan dari para sarjana kita enggan untuk pulang kampung karena beberapa alasan antara lain : ada yang malu dan gengsi, ada yang dapat jodoh orang kota, ada yang telah bekerja di perusahaan yang terletak di daerah perkotaan, ada yang tetap tinggal di kota karena gaya hidup dan fasilitas dan beberapa alasan lainnya. Kami ambil satu alasan di atas untuk bahan perenungan yaitu alasan kita bekerja pada orang lain (sebagai karyawan). Coba renungkan, bahwa dengan bekerja pada orang lain seolah hidup kita telah tergadaikan pada atasan kita. Sudah berapa banyak orang yang keluar dari pekerjaannya karena keinginannya tidak terpenuhi atau berseberangan dengan atasan? Tapi coba bandingkan dengan kalau kita bekerja secara mandiri, kita akan bebas mengekpresikan keinginan dan bakat kita.

Disamping itu pilihan untuk usaha mandiri (membangun desa atau lainnya) juga mempunyai sisi positif. Diantaranya adalah memberi kesempatan kepada yang lain untuk bisa bekerja di tempat dan posisi yang pernah kita pegang. Dengan demikian anda secara otomatis telah ikut membantu dan mensukseskan program pemerintah dalam mengurangi jumlah pengangguran di negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi ini. Dengan membangun desa, para sarjana juga akan dapat menciptakan peluang usaha baru dan akhirnya mampu menyerap tenaga kerja baru. Alhamdulillah ide usaha yang kami rintis ini telah mampu memberikan peluang usaha baru bagi yang lainnya baik sebagai usaha pokok atau usaha sampingan.

Kalau para sarjana kita punya pikiran seperti ini, kami yakin suatu saat gaji buruh atau karyawan di Indonesia akan meningkat atau bahkan bisa setara dengan gaji tenaga asing yang bekerja di negeri ini. Mengapa? Karena tidak ada yang mau menjadi tenaga buruh pabrik atau lainnnya sehingga perusahaan akan susah mendapatkan buruh atau karyawan sehingga hukum pasar akan memberlakukan kenaikan gaji untuk bisa mendapatkan tenaga kerja. Sehingga nasib buruh kedepan akan jauh lebih baik daripada sekarang yang maaf hanya sebagai ‘sapi perahan’ oleh perusahaan. Anda tahu gaji tukang kayu? tukang servis elektronik atau montir? atau tukang buruh tani atau pendapatan petani dalam sebulan? Coba bandingkan dengan gaji UMR yang diterima pegawai pabrik dan lainnya.

Tapi tidak sepenuhnya untuk mengembangkan usaha sektor agribisnis di perdesaan menjadi tanggung jawab pemerintah. Timbal balik dari masyarakat perlu menjadi evaluasi juga. Sikap menganggap sarjana yang pulang kampung adalah sarjana yang gagal karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai di kota atau lainnya. Dan lebih parah lagi kalau itu dijadikan tolak ukur untuk tingkat pendidikan anak-anaknya kelak. Sehingga timbul persepsi “kalau anak saya kuliah paling nasibnya tidak jauh beda dengan sarjana yang pulang kampung itu” dan anggapan-anggapan miring lainnya.

Untuk itu mari kita renungkan bersama isi artikel di atas khususnya para sarjana. Masa depan negara ada di tangan kaum muda seingga jangan sia-siakan umur dan ilmu kita. Berbakti kepada negara tidak terbatas dengan menjadi anggota dewan, TNI-Polri, guru dan PNS atau hal-hal lain yang berbau kenegrian. Tapi dengan memberikan sebagian ilmu kita kepada masyarakat atau langsung terjun ke masyarakat adalah salah satu bentuk sumbangsih kita dalam berbakti terhadap tanah air tercinta. Semoga bermanfaat*(SPt)

Silahkan mengcopy isi artikel ini sebagian atau seluruhnya degan menyebutkan sumbernya : www.sentralternak.com. saran dan kritik dapat di sampaikan kepada kami melalui email : sentralternak@yahoo.com

Sentralternak menyediakan produk-produk peternakan seperti mesin tetas, bibit unggas (DOC ayam kampung, DOC arab, DOD itik mojosari, DOQ), jasa pelatihan, biro konsultasi. Mari secara bersama membangun negeri ini dengan komoditi ternak.

3 Comments

  1. Kapan ada training gratis lagi via chatting… Maaf saya ketinggalan info baru tahu (buka) website tanggal 31 oktober 2008

  2. Kalo itik siap telor, kira-kira menyediakan apa tidak ya? Soalnya aku mau mencoba merintis usaha ternak itik nih, habis PHK. tolong infonya

  3. menarik sekali tulisannya. cuma saya belum mendengar dan membaca atau melihat ada daerah yang kemudian maju dan sejahtera karena sarjananya pulang dan mempraktekkan ilmunya dengan reward yang cukup. memang ada sisi romantis tentang gagasan ini tapi jangan lupa kita perlu pula realistis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *